Jumat, 06 Agustus 2010

6,7 T Ke (saku) Mana Kau Berada?

Pansus Century yang dibentuk oleh DPR RI untuk mengetahui apa yang terjadi dengan dana talangan (bail out) Rp 600 miliar yang membengkak menjadi Rp 6,7 triliun. Semua orang tertuju pada tontonan sidang pansus baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media. Aktor- aktor yang terlibat dalam kasus ini didatangkan untuk dimintai keterangan. Aktor sentral yang ditunggu-tunggu publik akhirnya memenuhi panggilan Pansus Century yaitu menkeu, dan wapres karena waktu itu beliau pengambil kebijakan “ bail out” century.
Keterangan antar satu saksi dengan saksi lain yang disampaikan dalam sidang Pansus Century saling keterbalikan. Pemilik Bank Century Robert Tantular didatangkan dengan memberikan keterangan yang susah dimengerti. Mantan wapres, Jusuf Kalla (JK) juga didatangkan untuk dimintai keterangan, dan bahkan saling keterbalikan dengan ketua KSSK yang juga Menkeu keterangan yang disampaikan. Perdebatan yang tidak substansial, tidak menarik untuk disimak dan terlampau menguras energi seputar dampak sistemik dan tidak sistemik.
Inti dalam kasus ini yang dinantikan rakyat hanya ingin mengetahui kemana uang Rp 6,7 triliun itu mengalir? Mustahil ketua KSSK dan Gubernur BI waktu itu tidak tahu aliran dana, sedangkan yang memberikan mereka. Itu saja yang ingin kami ( rakyat) ingin ketahui bukan masalah perdebatan dampak sistemik atau tidak sistemik, penulis kira tidak penting intinya aliran dana itu kemana ? audit BPK terhadap BI, audit administrasi PPATK juga sudah diperiksa, hasilnya nihil.
Bangsa Besar Berjiwa Amnesia
Indonesia bangsa yang besar, sayang penghuninya sering terjangkit amnesia. Salah satu contoh dalam kasus Century, ketika memutuskan memberikan bail out dengan pembengkakan ( perampokan ) mencapai Rp 6,7 triliun, ketua KSSK dan gubernur BI lupa “menaruh” dana tersebut. Kaidah fiqih menyebutkan hukum orang lupa tidak ada, artinya meskipun Menkeu dan Wapres sudah mengakui mereka akan bertanggung jawab dalam kasus ini, mereka dimaafkan. Rakyat Indonesia sebenarnya sudah selesai dengan duniawi bagaimana uang Rp 6,7 triliun hilang mereka tetap tersenyum dan bisa tertawa lepas dipinggir-pinggir jalan. Bukan masalah uang yang “bisa” hilang tanpa meninggalkan catatan notulen, tetapi niat tulus dan kejujuran yang dinanti dalam penyelesaian kasus ini, bukan debat kusir yang tiada ujung.
Semoga kasus ini segera menemui titik terang berupa penemuan penerima dana bail out. Apakah rekening pejabat, parpol, itu yang perlu diungkapkan. Mengutip ungkapan ketua MK “ jangan sekali-kali melawan kekuatan rakyat, tidak ada dalam sejarah yang tidak jatuh”. Mari mengembalikan kesadaran kita sebagai bangsa besar untuk kembali memimpin dunia.

Senin, 02 Agustus 2010

APBD Rakyat (Untuk) Birokrasi


APBD Jatim 2010 mencapai angka  fantastis  7 Triliun rupiah. Hanya 45% APBD yang untuk rakyat, bisa dibayangkan 55% untuk kepentingan birokrasi. 45% itu pun masih penuh dengan tanda Tanya peruntukannya apakah tepat sasaran kepada rakyat atau ke “rakyat lain”. Apa lagi Gubernur menggunakan kebijakan defisit anggaran dimana APBD 2010 disusun defisit, yang akan ditutup dengan SILPA. Artinya Gubernur mengambil tabungan rakyat Jatim dimana nasib kemakmuran rakyat sangat dipertaruhkan. Gubernur yang semasa kampanye menggunakan jargon APBD pro rakyat akan diuji apakah ingat jargonnya atau sudah mengalami penyakit amnesia seperti kebanyakan pejabat kita. Pertarungan dalam Pilkada mengeluarkan banyak biaya itu sudah menjadi rahasia umum, apalagi kemarin pilkada Jatim dilakukan sampai tiga putaran. Kalau Gubernur menggunakan kalkulasi ekonomi maka akan mencari penerimaan untuk mengembalikan “modalnya” dengan cara memainkan APBD. Hal ini yang ditakutkan masyarakat Jatim.
Indikasi sudah terlihat jelas perbandingan 55% dan 45% peruntukan APBD. Salah satu tanda Gubernur lupa slogan kampanyenya. Seyogyanya rakyat ikut pro aktif untuk mengingatkan kembali janji-janji Gubernur. 
Paradok Program unggulan
Kebijakan Pemerintah yang baik menggunakan data lapangan untuk input dalam perumusan kebijakan. Memang dalam membuat rumusan kebijakan yang tepat dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Jika Pemerintah memiliki political will dalam mensejahterkan rakyat kecil, tentu itu tidak menjadi soal. Mengapa banyak kebijakan pemerintah yang gagal atau tidak tepat sasaran? Karena tidak mempunyai data lapangan, kebiasaan menggunakan data dinas yang notabene dinas tidak pernah turun lapangan. Sama halnya ketika pemerintah Jatim menyusun APBD dibutuhkan data yang sesuai dengan apa yang menjadi sasaran.
Gubernur dalam beberapa kesempatan menyampaikan program utama dalam mengurangi kemiskinan tidak lagi bersifat bantuan murni melainkan hibah berupa alat produksi. Sektor pertanian,peternakan dan perikanan merupakan sektor yang (se)akan digarap serius di 2010. Aktor ketiga sektor tersebut memang sering menjadi korban lip service pejabat. Sektor yang dilain pihak menjadi “primadona” Pendapatan Asli Daerah ( PAD) Jatim. Sangat miris melihat nasib buruh Petani, Nelayan, dan Peternak yang bekerja penuh energi tetapi tidak bisa menikmati hasilnya karena harus setor ke tengkulak untuk membayar pinjaman. Pemerintah “belum” berani membuat kebijakan penjamin hasil dan kebijakan kelancaran distribusi pupuk bagi Petani, distribusi solar bagi Nelayan, dan distribusi pakan bagi Peternak dalam APBD.
Mana perisai Rakyat
Sulit memang untuk percaya begitu saja kepada pemerintah dalam hal ini Gubernur sebagai top manajer Jatim. Apakah Pemerintah sudah mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan haknya tersebut? Gubernur harus menata jajarannya di SKPD yang melayani rakyat bukan keluarga dekat. Dengan menjadikan program unggulan dalam APBD, pelaku ketiga sektor unggulan harus mengerti kemana mengurus untuk mendapatkan  haknya. Peran lembaga legislatif disini memang harus dioptimalkan sisi kritis dalam fungsi pengawasan. Banyak hal bisa dilakukan DPRD Jatim untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.  Dengan membuka pengaduan rakyat atas pelayanan pemerintah, sidak ke SKPD-SKPD dan sebagainya. DPRD Jatim membantu memberikan informasi cara mengakses program-program yang dibuat pemerintah melalui masing-masing  dapil.
Dewan juga harus bertanggung jawab karena “mengizinkan” pemerintah menggunakan tabungan rakyat dalam APBD 2010. Melalui DPRD rakyat menitipkan “tabungannya” hanya boleh digunakan untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk menyengsarakan rakyat (kecil). Akses mencapai kebutuhan dengan menggunakan uang rakyat sendiri yang dibutuhkan. Pemerintah hanya berfungsi melayani bisa dianalogikan dengan event organizer (EO). Dengan Rp 7 triliun pertunjukkan sebagus mungkin bisa disuguhkan pemerintah. Pertunjukkan yang bisa menghibur rakyat bukan menindas rakyat, sehingga periode berikutnya dipilih kembali untuk mengadakan pertunjukkan berikutnya. DPRD jangan melukai hati rakyat dengan melakukan “perselingkuhan” dengan pemerintah. Semoga meskipun 45% dari Rp 7 triliun “benar-benar” untuk rakyat.